Dalam lanskap sejarah dan spiritualitas Indonesia, ada sembilan nama yang bersinar terang—mereka adalah Wali Songo, atau Sembilan Wali. Di abad ke-15 dan 16, tokoh-tokoh sufi ini memainkan peran kunci dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.
Namun, warisan mereka bukan sekadar tentang agama; ini juga tentang budaya, seni, dan kebijaksanaan yang hingga kini masih mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Saat ini, makam-makam Wali Songo telah menjadi destinasi wisata religi wali songo yang sangat populer.
Setiap tahun, ribuan peziarah dari seluruh Nusantara, bahkan mancanegara, melakukan perjalanan spiritual untuk mengunjungi tempat-tempat suci ini. Mari kita susuri jejak para wali dalam sebuah petualangan yang tidak hanya menyentuh jiwa, tapi juga memperkaya wawasan budaya dan sejarah.
- Sunan Gresik: Maulana Malik Ibrahim, Pintu Gerbang Islam di Jawa
Perjalanan kita dimulai di Gresik, Jawa Timur, di makam Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim. Beliau adalah wali pertama dan dianggap sebagai “pintu gerbang” penyebaran Islam di Jawa.
Berasal dari Persia, beliau tiba di Gresik sekitar tahun 1404, membawa pendekatan sufistik yang toleran dan adaptif. Kompleks makam Sunan Gresik sederhana namun sarat makna.
Batu nisannya yang bertuliskan kaligrafi Arab dan berhias ornamen Persia menjadi bukti akulturasi budaya. Di dekat makam, ada pula Museum Malik Ibrahim yang menyimpan peninggalan sejarah, termasuk Al-Qur’an kuno. Ziarah di sini mengajarkan kita bahwa pesan spiritual bisa disampaikan dengan lembut, melalui pendekatan yang menghargai budaya lokal.
- Sunan Ampel: Raden Ahmad Rahmatullah, Strategi Dakwah Melalui Perdagangan
Dari Gresik, kita bergerak ke Surabaya untuk mengunjungi makam Sunan Ampel. Beliau adalah Raden Ahmad Rahmatullah, keturunan raja Champa yang menyebarkan Islam melalui jalur perdagangan. Masjid dan pesantren yang beliau dirikan di daerah Ampel menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam pertama di Jawa.
Kompleks Sunan Ampel kini menjadi area wisata religi yang hidup. Selain berziarah ke makam, Anda bisa merasakan atmosfer “Kampung Arab” di sekitarnya—dengan aroma rempah-rempah, kedai kopi Timur Tengah, dan toko-toko yang menjual kurma atau pakaian gamis. Pengalaman ini mengingatkan bahwa interaksi dagang bisa menjadi jembatan pemahaman antar budaya.
- Sunan Bonang: Raden Makdum Ibrahim, Dakwah Melalui Seni dan Musik
Perjalanan kita berlanjut ke Tuban, kampung halaman Sunan Bonang. Beliau adalah Raden Makdum Ibrahim, seorang seniman dan musisi berbakat.
Sunan Bonang terkenal menggunakan gamelan dan tembang Jawa untuk menyampaikan ajaran Islam, menciptakan alat musik bonang dan gending suluk yang masih dimainkan hingga kini.
Di kompleks makamnya, Anda akan mendengar alunan gamelan dan lantunan suluk setiap malam Jumat. Ada pula pameran alat musik tradisional dan pertunjukan wayang kulit dengan tema Islami. Berziarah ke sini mengajarkan kita bahwa seni adalah bahasa universal yang dapat menyentuh hati, melampaui batas-batas kepercayaan.
- Sunan Drajat: Raden Qosim, Penyebar Pesan Kemanusiaan
Masih di Jawa Timur, kita mengunjungi makam Sunan Drajat di Lamongan. Beliau adalah Raden Qosim, wali yang sangat peduli pada aspek sosial. Sunan Drajat dikenal dengan filosofi “Memangun Resep Tyasing Sasami” (membahagiakan hati sesama), mendorong umatnya untuk aktif membantu kaum miskin dan tertindas.
Kompleks makam Sunan Drajat juga merupakan situs arkeologi yang kaya. Di sini, Anda dapat melihat arca-arca pra-Islam yang menggambarkan ajaran beliau, seperti patung tangan memberi yang melambangkan kedermawanan. Berziarah ke makam ini mengingatkan bahwa spiritualitas sejati harus tercermin dalam tindakan kemanusiaan.
- Sunan Kudus: Ja’far Shadiq, Teladan Toleransi dan Harmonisasi
Kita bergerak ke Jawa Tengah, tepatnya ke kota Kudus, untuk mengunjungi makam Sunan Kudus. Ja’far Shadiq, nama asli beliau, adalah contoh luar biasa dari toleransi beragama.
Meskipun seorang ulama Islam, beliau sangat menghormati tradisi Hindu-Buddha yang telah lama berakar di Kudus Bukti toleransi ini terlihat jelas pada kompleks Masjid Menara Kudus.
Menaranya yang unik sangat mirip dengan candi Hindu, bahkan dipercaya awalnya adalah bagian dari candi.
Sunan Kudus juga dikenal melarang pengikutnya menyembelih sapi, binatang yang disakralkan dalam agama Hindu. Berziarah ke sini adalah pelajaran berharga tentang menghormati perbedaan dan membangun harmoni.
Berziarah ke makam Wali Songo bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga spiritual. Setiap makam tidak hanya bercerita tentang seorang tokoh, tapi juga tentang nilai-nilai luhur yang mereka ajarkan—toleransi, kreativitas, kemanusiaan, dan kebijaksanaan.
Nilai-nilai ini, yang disampaikan melalui pendekatan kultural yang lembut, telah membantu Islam berakar kuat di tanah Jawa tanpa menghilangkan identitas lokalnya. Perjalanan ini juga mengajak kita merenungi makna dakwah.
Para wali mengajarkan bahwa menyebarkan kebaikan tidak selalu harus melalui ceramah atau debat teologis. Itu bisa dilakukan melalui seni, musik, perdagangan, bahkan politik—cara-cara yang menyentuh sisi manusiawi kita. Mereka menunjukkan bahwa kearifan sejati adalah kemampuan untuk menghargai keragaman dan merangkul semua lapisan masyarakat.
Di era modern yang sering kali ditandai dengan polarisasi dan intoleransi, kisah Wali Songo mengingatkan kita bahwa perbedaan tidak harus berujung pada perpecahan.
Sebaliknya, perbedaan bisa menjadi sumber kreativitas dan harmoni, jika kita mau belajar dari kearifan masa lalu. Jadi, kapan Anda akan memulai perjalanan spiritual ini, untuk menemukan inspirasi dari sembilan tokoh yang telah mengubah wajah Nusantara?